Wednesday, May 21, 2014

Sebagai sebuah klub sepak bola yang mampu menjadi juara nasional dua kali sudah sewajarnya PSIS Semarang memiliki pendukung yang melimpah ruah. Tua muda, pria wanita bahkan anak-anak berduyun-duyun memadati Stadion Jatidiri tiap kali PSIS Semarang bermain. Bahkan basis supporter pun tak hanya monopoli warga Semarang saja. Daerah-daerah disekitar Semarang pun tercatat memiliki basis suporter yang tak kalah militan.

Sudah barang tentu kecintaan dan loyalitas para suporter Laskar Mahesa Jenar tersebut tak perlu diragukan lagi. Salah satu bukti kecil kecintaan para suporter adalah mereka sudah mulai memadati stadion sejak 2 jam sebelum pertandingan dimulai. Para suporter rela berpanas-panasan di dalam stadion demi melihat dan menjadi saksi permainan tim kesayangannya; PSIS Semarang. Namun sayangnya kecintaan tersebut ternyata belum dibarengi dengan kepedulian terhadap PSIS.

Cinta dan Peduli memang dua hal yang berbeda. Cinta belum tentu peduli sedangkan peduli –biasanya- termasuk dalam cinta. Cinta terhadap PSIS? Sudah pasti! Peduli dengan PSIS? Tunggu dulu…

Sabtu, 3 Mei 2014 di Stadion Jatidiri menjelang duel PSIS melawan Persitema dengan mata kepala sendiri kita menyaksikan 2 kelompok kecil suporter berjumlah sekitar 4-5 orang masuk ke stadion tanpa tiket. Kemudian juga sekelompok suporter terlihat dan terdengar sedang kasak kusuk dengan petugas keamanan. Tujuannya? Jelas masuk stadion tanpa membeli tiket alias gratis. Itu baru yang kita temui di siang itu. Lha yang tidak kita temui ada berapa orang/kelompok suporter? Lima? Sepuluh? Dua puluh? Atau jangan-jangan lebih banyak lagi. Wajar jika Panpel & Manajemen setelah pertandingan mengabarkan bahwa pemasukan dari tiket hanya sekitar 150 juta meski stadion penuh sesak oleh suporter. Hal ini diperparah dengan masih adanya calo yang berkeliaran disekitar stadion.


Mengikuti kompetisi sepak bola di Indonesia memang mahal. Letak geografis berupa kepulauan menjadikan pos biaya transportasi klub menjadikan biaya operasional secara keseluruhan membengkak. Dan seperti klub sepak bola dimanapun berada, pemasukan dari sektor penjualan tiket sangat diandalkan oleh klub. Terlebih PSIS bermain di kompetisi yang terhitung kasta kedua dimana tidak ada stasiun tv yang berminat menyiarkan secara live yang mengakibatkan perolehan pendapatan dari hak siar juga nihil. Bagaimana dengan sponsor? Sponsor tetap ada. Tapi jika kita bisa memaksimalkan pendapatan dari penjualan tiket akan lebih bagus bukan?

Kita tidak akan menunjuk siapa yang salah dalam hal ini. Kita juga tidak mau berdebat kusir soal siapa yang bertanggung jawab soal ini. Marilah kita sama-sama introspeksi diri. Dengan fakta dan argumen yang kita jelaskan diatas sudah pedulikah kita akan klub sepak bola yang sama-sama kita cintai? Jujur kita miris melihat sebagian orang dengan dandanan lengkap ditambah scarf dimana di kaos belakang tercetak dengan jelas kata-kata ekspresi kefanatikan terhadap PSIS tapi tanpa malu-malu berusaha menonton klub kesayangannya bertanding di stadion tanpa membeli tiket.

Mari kita bersama-sama sebagai suporter yang cinta terhadap PSIS Semarang mulai lebih peduli kepada klub yang kita cintai. Mari kita bersama-sama menumbuhkan kebiasaan untuk tidak lagi kasak kusuk kepada manajemen, panpel maupun petugas keamanan untuk masuk stadion secara gratis. Mari kita bersama-sama memupuk mentalitas untuk selalu membeli tiket di jalur yang resmi sehingga uang tiket kita bisa membantu PSIS dalam hal keuangan. Meski sedikit tapi jauh lebih berarti daripada tidak sama sekali.

Mari kita kawal bersama-sama perjalanan panjang PSIS Semarang kembali ke kasta tertinggi sepak bola Indonesia. Kalo bukan kita lantas siapa? Demi PSIS Semarang! Laskar Mahesa Jenar!

Next
This is the most recent post.
Previous
Older Post

0 comments:

Post a Comment